Salah Kaprah Penggunaan Bahasa Indonesia

Kaprah adalah kata lain untuk lazim. Yang dimaksud salah kaprah adalah kesalahan yang dianggap lazim atau dianggap biasa. Jika penggunaan Bahasa Indonesia secara salah dilakukan berulang-ulang, tanpa ada yang mengoreksi atau mengingatkan, orang akan menganggapnya benar. Terungkap bahwa kasus salah kaprah ini terjadi di banyak kalangan masyarakat, termasuk di media massa

 

Manajer Tim atau Tim Manajer?

Ada penulisan istilah Bahasa Indonesia yang menggunakan struktur bahasa asing: tim manajer. Tidakkah seharusnya manajer tim? Mengindonesiakan istilah yang berupa frasa jangan setengah-setengah. Ada lagi, marketing manajer. Mengapa bukan manajer pemasaran? Contoh lain, bola volley. Bukankah seharusnya bola voli? Bisa saja sepenuhnya ditulis dalam struktur bahasa asing, team manager, marketing manager, atau volley ball. Akan tetapi, mengapa digunakan bahasa asing jika sudah ada istilahnya dalam bahasa Indonesia?

 

Massa dan Armada

Ratusan massa mendatangi Kantor Bupati Gianyar”. Kata massa bermakna ”sekumpulan orang yang banyak sekali”. Apakah ratusan massa berarti ”ratusan kumpulan orang”? Tidakkah yang dimaksudkan ”ratusan orang”, bukan ”ratusan massa”?

Begitu pula kata armada dalam kutipan berikut: “Lima puluh armada taksi sudah siap dioperasikan,” Makna armada adalah ”rombongan suatu kesatuan”. Jadi, hilangkan saja kata armada dalam kalimat itu. Jika ingin menekankan informasi tentang sejumlah taksi sebagai satu kesatuan, kalimat itu dapat diubah menjadi Armada yang terdiri atas lima puluh buah taksi sudah siap dioperasikan.

 

Negara di Luar Dunia

“Ia telah berkunjung ke banyak negara di dunia ini.” Frasa di dunia ini mubazir. Memangnya ada negara di luar dunia? ”Perhatikan pesaing yang ada”. Perlukah kita memerhatikan pesaing yang tidak ada?

 

Kondusif

Salah kaprah, kata kondusif diberi makna aman. “Keadaan di Poso sudah kondusif.” Tidakkah kata kondusif masih harus diikuti kata lain? Kondusif untuk apa? Jangan-jangan, orang tidak terlalu memahami arti kondusif, yakni ”memberi peluang pada hasil yang diinginkan yang mendukung”. Kalau yang dimaksudkan keadaan yang membaik, mengapa tidak dikatakan saja Keadaan di Poso sudah membaik atau Keadaan di Poso sudah pulih?. Kondusif bagi aparat keamanan berbeda dengan kondusif bagi teroris.

 

Berhasil Ditangkap

“Pencuri itu berhasil ditangkap di sebuah vila di Jimbaran.” Tidakkah lebih benar jika ditulis, “Polisi berhasil menangkap pencuri itu di sebuah vila di Jimbaran”? Mungkin, pada kesempatan lain terjadi, “pencuri itu berhassil melarikan diri ketika hendak ditangkap polisi”. Benarkah kalimat ini, “Tajen di Pura Pemuteran berhasil dibubarkan?”

 

Bergandengan dan saling Pukul

“Ia berjalan bergandengan tangan.” Mengapa tidak ditulis “Mereka berjalan bergandengan tangan”? Mungkinkah bergandengan tangan sendirian? Benar, jika ditulis, “Ia bergandengan tangan dengan pacarnya”.

“Saling pukul-memukul”. Tidakkah yang lebih cermat dan padat adalah pukul-memukul atau saling pukul?

 

Aktifitas atau aktivitas?

Dua cara penulisan ini sering kita temukan. Mana yang benar? Kata itu diserap dari bahasa Inggris activity atau, dulu, kata Belanda activiteit. Kita perlu mengganti huruf jika bunyi yang dilambangkannya membedakan makna dalam bahasa Indonesia. Huruf c pada kata asingnya ditukar dengan k karena melambangkan bunyi yang berbeda. Bagaimana dengan v? Tidak perlu, karena bunyi yang dilambangkannya dalam bahasa Indonesia tidak membedakan makna. Jadi, yang benar aktivitas.

(Catatan: akhiran (i)tas dari bahasa Latin dipilih karena pada waktu itu orang tidak menghendaki penyesuaian akhiran Inggris atau Belanda.)

Mengapa kita menulis aktif, bukan aktiv? Karena, huruf v tidak kita gunakan di akhir kata umum dalam bahasa Indonesia. Jadi, active kita serap menjadi aktif. Huruf v di tengah kata tidak diubah. Contoh lain, produktif-produktivitas, agresif-agresivitas, positif-positivisme, dan motif-motivasi.

 

Standarisasi atau Standardisasi?

Kasus ini mirip dengan aktifitas dan aktivitas. Kata asing standard kita serap dengan menghilangkan huruf d karena bunyi yang dilambangkan cenderung tidak diucapkan dalam Bahasa Indonesia. Jadi, yang benar adalah standar.

Kata standardisation (Inggris) atau standardisatie (Belanda) kita serap menjadi standardisasi. Mengapa huruf d dipertahankan? Bunyi /d/ dapat kita lafalkan sehingga secara keseluruhan lafal dan tulisan standardisasi lebih dekat dengan lafal dan tulisan kata asingnya walau di sana-sini sudah ada penyesuaian.

Baik dicatat, dalam hal menyesuaikan tulisan dan lafal kata serapan, apa yang bisa dipertahankan sebaiknya tidak diubah sehingga dapat lebih dekat dengan bentuk aslinya. Hal itu memudahkan penelusuran asal-usul kata.

 

Ganti Untung

Baru-baru ini ada berita tentang lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo. Sebuah stasiun televisi memberitakan bahwa korban lumpur Lapindo menuntut agar ganti untung segera dicairkan. Apa itu ganti untung?

Istilah yang lazim kita dengar dan juga kita gunakan adalah ganti rugi. Dalam tata bahasa ganti rugi disebut kata majemuk. Ada bentuk-bentuk kata majemuk serupa itu, misalnya meja tulis. Yang dimaksud meja tulis adalah meja untuk menulis. Buku gambar adalah buku untuk menggambar. Anak angkat artinya orang (biasanya berusia muda) yang tidak bertalian darah yang diangkat menjadi anak sendiri. Contoh lain cetak ulang, yang artinya pencetakan ulang.

Dalam contoh-contoh itu terlihat ada pemendekan bentuk. Menulis menjadi tulis, menggambar menjadi gambar, diangkat menjadi angkat dan pencetakan menjadi cetak. Hal yang sama sebenarnya juga terjadi pada kata ganti rugi, hasil pemendekan dari penggantian kerugian atau sekurang-kurangnya dari ganti kerugian.

Jadi apa yang dimaksud dengan ganti untung dalam berita itu? Dengan analogi tersebut, ganti untung dapat ditafsirkan sebagai penggantian keuntungan atau ganti keuntungan. Hal ini tentu saja tidak masuk akal. (“Keuntungan kok diganti!”). Konon yang menciptakan istilah itu bermaksud agar korban seperti warga Porong itu mendapat penggantian yang menguntungkan, bukan yang merugikan. Dengan mengubah ungkapan ganti rugi menjadi ganti untung diharapkan kompensasi yang dimaksudkan menguntungkan pihak korban.

Terlepas dari niat baik penulis berita, pengubahan istilah itu jelas mengacaukan makna. Di samping itu, kalau korban manjadi untung, bukankah lalu ada pihak yang merugi? Nah, kalau pihak yang merugi itu adalah pihak yang harus menyediakan dana penggantian, pantas saja kalau mereka menunda-nunda atau enggan melaksanakan.

Singkat kata, meniru gaya Tukul, kembali ke ganti rugi!

 

Akibat yang Mengakibatkan

Coba perhatikan kutipan ini. “Akibat kebakaran itu mengakibatkan pedagang kehilangan tempat usaha.” Hah!

Hati-hati menyusun kalimat yang mengandung hubungan kausalitas. Sebetulnya ada cara yang sederhana. Gunakan saja kata hubungan seperti sebab, karena, akibat, sehingga, dan boleh juga maka, misalnya begini.

1. Persidangan itu ditunda sebab hakimnya sakit.

2. Pertandingan terpaksa dihentikan karena hujan deras.

3. Akibat perbuatannya itu, ia dihukum dua tahun penjara.

4. Kasus itu sudah diputuskan secara adil, maka demo tidak perlu lagi.

Kata sebab dan akibat juga bisa menjadi dasar kata kerja mengakibatkan dan menyebabkan. Keduanya kurang lebih berarti sama. Contohnya seperti ini.

1. Angin puting beliung itu mengakibatkan kerusakan di desa Sukoharjo, Sleman, Yogyakarta.

2. Kebijakan pemerintah menyebabkan pelaksanaan pemerintahan terus menerus dipantau dan dikritik rakyat.

Lalu bagaimana dengan kalimat yang dikutip tadi? Kacau alias rancu! Sebaiknya kalimat itu berbunyi: Akibat kebakaran itu para pedagang kehilangan tempat usaha atau Kebakaran itu menyebabkan pedagang kehilangan tempat usaha.

 

Menurut Siapa Mengatakan Apa

Ditemukan kalimat seperti ini: “Menurut seorang pakar sosiologi Universitas Indonesia mengatakan bahwa harga demokrasi memang dapat dianggap mahal.

Kalau kita analisis, mana subjek kalimat itu? Seorang pakar sosiologi Universitas Indonesia? Memang, bagian itulah yang menjadi pokok untuk kata kerja mengatakan. Namun, kalau itu subjeknya, mengapa didahului kata menurut? Apakah kita dapat mengatakan kalimat yang lebih sederhana ini: Menurut dia mengatakan begitu? Aneh, bukan?

Pemecahan sederhana: buang saja kata menurut sehingga kalimat itu menjadi seorang pakar sosiologi Universitas Indonesia mengatakan bahwa harga demokrasi memang dapat dianggap mahal.

Bagaimana jika kita ingin menggunakan kata menurut? Karena kata itu mengawali bagian yang disebut keterangan, jangan lupakan kalimat induknya. Inilah perbaikannya: Menurut seorang pakar sosiologi Universitas Indonesia, harga demokrasi memang dapat dianggap mahal.

 

Kepada Bapak Gubernur

Seorang pembawa acara menyatakan, ”Kepada Bapak Gubernur kami persilakan”. Mengapa mesti ada kara kepada? Lebih benar jika dikatakan, ”Bapak Gubernur kami persilakan”.

 

Jumlah Korban yang Meninggal

Berjumlah Enam Orang

Menyusun kalimat perlu cermat. Biasanya, kalimat yang ringkas lebih mudah dipahami informasinya. Kalimat yang jelas informasinya adalah kalimat yang efektif. Itulah sebabnya, para penulis ulung sering memberi nasihat para pemula untuk membuat tulisan dengan kalimat-kalimat pendek.

Kalimat yang singkat dan padat tidak memuat kata yang tidak diperlukan. Kata yang berlebihan dapat mengaburkan pokok masalah. Oleh sebab itu, hindari unsur kalimat yang memiliki fungsi yang sama.

Mari kita simak kutipan yang menjadi judul tulisan ini. Mungkin dengan mudah masalahnya kita temukan, yakni pemakaian kata jumlah dan berjumlah. Aneh sekali jika kita mengatakan bahwa jumlah anu berjumlah sekian. Kalimat aslinya sebenarnya jauh lebih panjang sehingga kejanggalan itu tidak disadari pembuatnya: jumlah korban yang ditemukan meninggal dalam kecelakaan kapal penumpang itu berjumlah 356 orang.

Jika memang perlu membuat kalimat panjang, jangan lupakan kecermatan. Kalimat tadi dapat diperbaiki dengan mengubahnya menjadi:

Korban yang ditemukan meninggal dalam kecelakaan kapal penumpang itu berjumlah 356 orang.

Dapat juga dipertimbangkan pengubahannya menjadi seperti kalimat di bawah ini.

Jumlah korban yang ditemukan meninggal dalam kecelakaan kapal penumpang itu mencapai 356 orang.

 

Seronok

Dalam suatu acara seminar, seorang perempuan cemberut setelah seseorang memuji pakaiannya yang seronok. Perempuan tadi merasa tidak senang dikatakan dirinya berpakaian tidak sopan di depan umum. Padahal, seharusnya dia senang, karena seronok berarti menyenangkan hati; sedap dipandang.

 

Bergeming

”Dia tidak bergeming” sering diartikan ”dia tidak bergerak”. Padahal, makna bergeming tidak bergerak sedikit juga; diam saja.

 

Mengentaskan Kemiskinan?

Agar lebih tepat penggunaannya, perhatikan maknanya, jika akan menulis kata atau istilah. Misalnya, simak kembali makna konfirmasi (= penegasan; pengesahan; pembenaran), massa (= sekumpulan orang yang banyak sekali), mengentaskan (entas; mengentas = mengangkat/dari suatu tempat ke tempat lain; mengeluarkan dari lingkungan cairan; menyadarkan; memperbaiki nasib). Contoh, “Para menteri diminta untuk mengentaskan petani kecil melalui program transmigrasi”. Tepatkah istilah “mengentaskan kemiskinan”? Tidakkah yang lebih tepat, ”mengentaskan rakyat dari kemiskinan?”

 

Masih banyak lagi penggunaan bahasa Indonesia yang salah kaprah.

Apotek bukan apotik (apoteker bukan apotiker); atlet bukan atlit (atletik bukan atlitik); praktik bukan praktek (praktikum bukan praktekum); utang bukan hutang (utang-piutang bukan hutang-pihutang); hakikat bukan hakekat (hakiki bukan hakeki); teknik bukan tehnik (teknologi bukan tehnologi); ubah bukan rubah (mengubah bukan merubah); silakan bukan silahkan; sistem bukan sistim (sistematis bukan sistimatis); nasihat bukan nasehat; karier bukan karir; persen (hadiah) bukan prosen; saksama bukan seksama; aktif bukan aktip (aktivitas bukan aktifitas); analisis bukan analisa; diagnosis bukan diagnosa; Anda bukan anda; ekstrem bukan ekstrim (ekstremis bukan ekstrimis); Februari bukan Pebruari; frekuensi bukan frekwensi; ijazah bukan ijasah; imbau bukan himbau; hierarki bukan hirarki; izin bukan ijin; metode bukan metoda; narasumber bukan nara sumber; objek bukan obyek; subjek bukan subyek; risiko bukan resiko; provinsi bukan propinsi; terampil bukan trampil; mungkir bukan pungkir (memungkiri bukan mempungkiri).

 

Sekadar bukan sekedar; telanjur bukan terlanjur; telantar bukan terlantar; peduli bukan perduli; andal bukan handal; antre bukan antri; asas bukan azas; biaya bukan beaya; Buddha bukan Budha; cendekiawan bukan cendikiawan, cenderung bukan cendrung.

Contoh lain: detail bukan detil; fondasi bukan pondasi; gosip bukan gosif; hafal bukan hapal; horizontal bukan horisontal; idiot bukan ideot; iktikad bukan itikad; insaf bukan insyaf; isap bukan hisap; iuran bukan iyuran; jajaki bukan jajagi; jenazah bukan jenasah; justru bukan justeru; judo bukan yudo; kategori bukan katagori; kelian banjar bukan kelihan atau klian banjar; kernet bukan krenet; khazanah bukan kasanah, kazanah; konferensi bukan konperensi; kongres bukan konggres; kualifikasi, kualitatif, kuantitatif, kualitas bukan kwalifikasi, kwalitatif, kwantitatif; kwalitas; makhluk bukan makluk; masjid bukan mesjid; memoar bukan memoir; merek bukan merk; meterai bukan meterei; miliar bukan milyar; misi bukan missi; modern bukan moderen; mulia bukan mulya; museum bukan musium; musnah bukan musna; nonblok bukan non blok, nomor bukan nomer; nonsens bukan nonsen.

 

Kiriman WIDMINARKO

Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Koran Tokoh

5 Tanggapan

  1. ya ini nih yg saya cari..masi sering keliru soale..kalimat komentar tdk bole diprotes!

  2. Nanti aku berburu bahasa salah kaprah lagi deh 🙂

  3. MAKASIH ATAS INFONYA. BENAR-BENAR BERMANFAAT!

  4. Sama-sama. Terima kasih Anda telah berkunjung.

  5. Bagus sekali Mas Wid. Sangat mencerahkan bagi pengguna bahasa Indonesia untuk dapat menulis dengan baik dan benar. Badan Bahasa sangat menghargai upaya yang Mas lakukan. Terima kasih.

Tinggalkan Balasan ke Agus Dharma Batalkan balasan