Daya Rusak Terhadap Perkembangan Bahasa Indonesia

1. Perkembangan Bahasa Indonesia
Sembilan puluh tahun tahun berlalu semenjak Sumpah Pemuda
28 Oktober 1928 diikrarkan. Apa yang telah terjadi dalam kurun waktu
yang panjang itu mengenai perkembangan bahasa Indonesia?
Tidak dipungkiri bahwa bahasa Indonesia sebagai organisme
yang hidup, tumbuh dan berkembang seiring dengan dinamika
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun,
pertumbuh kembangnya itulah yang mengantar dilema seiring
keterbukaan komunikasi yang ditopang oleh kepesatan teknologikomunikasi
itu sendiri. Seyogianya keterbukaan komunikasi dan
kepesatan teknologi mendorong perkembangan Bahasa Indonesia yang
bermartabat, berharkat dan terjunjung tinggi sebagaimana diamanatkan
oleh Sumpah Pemuda 90 tahun lalu.

Tetapi apa lacur ? Bahasa
Indonesia tergiring menjadi tumbuh liar, tanpa arah yang rentan dan
rawan bagi ahli waris generasi 1928. Salah satu pemicunya adalah
penggunaan Bahasa Indonesia melalui siaran, baik melalui media radio
maupun media televisi. Memang untuk mewujudkan Bahasa Siaran
yang standar atau baku seperti mengharapkan limau berduri, karena
kemajemukan bangsa Indonesia dan keberagaman dialek Nusantara.
Bangsa-bangsa yang sudah maju saja seperti Inggris, Prancis dan
Belanda memerlukan waktu yang cukup panjang dalam menetapkan
bahasa lisan baku yang menjadikan lembaga penyiarannya sebagai
modal. Konon pula bangsa kita yang sudah 63 tahun merdeka, tetapi
sampai kini belum mampu menghasilkan undang-undang
kebahasaannya. Karena itulah bahwa kita tumbuh liar terperangkap
pada budaya pop dan budaya instan yang globalistis yang maunya serba
gampang. Dampaknya Bahasa Indonesia menjadi “terpinggirkan”,
kehilangan penghargaan dan apresiasi terutama dari generasi muda.
Diperparah lagi dengan kebijakan pendidikan kita yang membuka
kelas-kelas internasional di sekolah-sekolah nasional dengan
menjadikan Bahasa Inggris sebagai berhala.

2. Bahasa Penyiaran
Undan-Undang no. 32 tahun 2002 , tentang Penyiaran pasal 37
menyatakan bahwa Bahasa Pengantar Utama dalam penyelenggaraan
program siaran harus Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Pasal 38 menyatakan bahwa Bahasa Daerah dapat digunakan
sebagai bahasa pengantar dalam penyelenggaraan program siaran
muatan lokal dan apabila diperlukan untuk mendukung mata acara
tertentu. Bahasa asing hanya dapat digunakan sebagai bahasa
pengantar sesuai dengan keperluan suatu mata acara siaran.

Pasal 39 menyatakan bahwa mata acara siaran bahasa asing
dapat disiarkan dalam bahasa aslinya dan khusus untuk jasa penyiaran
televisi harus diberi teks Bahasa Indonesia atau secara selektif
disulihsuarakan ke dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan keperluan
mata acara tertentu.

Bagaimana penerapan pasal-pasal kebahasaan Undang-Undang
Penyiaran tersebut di media, radio dan televisi kita? Simaklah tayangan
media TV dan dengarkan siaran media radio kita, ambil contoh yang
bersiaran di Jakarta saja. Sudahkah menyelenggarakan siaran yang
berbahasa Indonesia yang baik dan benar?
Jauh panggang dari api! Tata bahasa belepotan, kosa kata ngaur,
kata-kata Bahasa Inggris di berhalakan. Lihat saja judul-judul acara
seperti : Headlines News, Breaking News, Today Dialogue, TV
election, Metro Debate, Indonesia this Morning, Election up date, Top
Nine News (Metro TV), Go Sport (RCTI), Go Show (TPI), Hot Spot
(Indosiar), On the Spot, Gossip Girl (trans 7). Top hits, Blues Clues,
Fairly old parents (Global), Documentary One, expose, Cover Story
(TV one), Good Morning, Insert, Time-Tide (Trans TV). Apakah ini
dampak globalisasi, azas komersialisasi atau kemerosotan kebanggaan
jati diri berbangsa dan bernegara lembaga penyiaran di Indonesia?

Pembusukan internal terhadap martabat bahasa Indonesia
melalui lembaga penyiaran pun tak kalah memprihatinkan. Pribahasa
kita menyatakan “Bahasa Menunjukan Bangsa” pribahasa ini tidak
harus di makknai sebagai bahasa sebagai “language” melainkan sebagai
prilaku yang bermartabat (beharvior). Kosakata vulgar/kasar yang
berhamburan dalam program televisi Indonesia menimbulkan dampak
dayatarik yang luar biasa, terutama bagi generasi muda kata-kata vulgar
ini dikemas dalam program-program non-berita seperti sinetron,
infotainment, reality show, Talk show dan program hiburanlainnya.
Padahal Komisi Penyiaran Indonesia telah menentapkan peraturan KPI
nomor 3 tahun 2007 pasal 13 yang dengan jelas menyatakan bahwa
lembaga penyiaran tidak boleh menyajikan penggunaan bahasa atau
kata-kata makian yang mempunyai kecenderungan menghina/
merendahkan martabat manusia, memiliki makna jorok/mesum/
cabul/vulgar serta menghina Agama dan Tuhan kata-kata kasar dan
makian yang dilarang disiarkan mencakup kata-kata dalam Bahasa
Indonesia, bahasa asing dan bahasa daerah, baik diungkapkan secara
verbal maupun non-verbal.

3. Kecambah Lembaga Penyiaran
Seiring dengan euforia reformasi dan kebebasan bermedia
massa di Republik ini, jumlah lembaga penyiaran di Indonesia
memperlihatkan pertumbuhan yang agak tajam secara kuantitatif.
Berdasarkan data Komisi Penyiaran Indonesia Pusat November 2007
jumlah stasiun TV di Indonesia yang beroperasi mencapai 64 stasiun
meliputi 22 stasiun TV publik, 10 stasiun TV swasta TV berlangganan
melalui satelit dan 6 stasiun Tv berlangganan melalui kabel. Jumlah
stasiun penyiaran radio mencapai 1.184 meliputi 59 Radio Rebublik
(RRI) dan 1. 125 Radio Swasta.
Dan dalam tahun 2008 sedang dalam proses perizinan sejumlah
325 stasiun TV lokal. Berkecambahnya stasiun penyiaran ini semakin
berpotensi merusak pertumbuhan sehat Bahasa Indonesia.

4. Bahasa Sinetron
Momenklatur sinetron tidak dikenal pada masa awal eksistensi
lembaga penyiaran TV di Indonesia. TVRI satu-satunya lembaga
penyiaran TV dalam tahun 1962 hanya mengenal nama Drama Televisi
sebagai terjemahan TV play yang dikenal dalam peristilahan program
TV internasional. Istilah sinetron sebagai akronim sinema elektronik
dikenal setelah merebaknya stasiun-stasiun TV swasta di Jakarta.
Progran drama televisi TVRI pada era 1962-1970 disiarkan secara
langsung (live program), berbeda dengan sinetron masa kini yang pada
umumnya merupakan hasil penyuntingan (editing), sehingga dari segi
isi (contents) dan bahasa lebih mudah dikendalikan. Namun
kecanggihan teknologi ini malah tidak dimanfaatkan oleh pembuat
produksi sinetron dan oleh lembaga penyiaran yang menyiarkannya.

Terbukti kata-kata kasar/makian/dialog vulgar berhamburan di layar
kaca diiringi dengan adegan non-verbal (visual) yang tidak kalah
kasarnya. Kata-kata seperti “anjing” , “monyet”, “pantat”, “ diancuk”
sudah sangat terbiasa kita dengan melalui sinetron dilengkapi dengan
mata melotot, gerakan sadisme, dan darah. Tahun-tahun terakhir ini
dibumbui lagi dengan adegan horor lewat sinetron yang tidak kalah
sadisnya.

5. Posisi Sinetron
Data yang diketengahkan oleh tabloid Bintang Indonesia awal
tahun 2008, jumlah sinetron dengan klasifikasi remaja sudah mencapai
274 judul yang disiarkan oleh delapan stasiun TV Jakarta, terdiri dari 1.
4762 episode atau 1. 791 jam. Padahal dalam tahun 2006 hanya 172
judul. Respons pemirsa menurut hasil riset AC. Neilsen perangkat
rating sinetron berkisar Top 20, yang berarti laris-manis untuk meraup
iklan. Kalau kita amat-amati rangkaian episode sinetron-sinetron yang
pernah populer seperti Tersanjung , Intan, Mesteri Gunung Merapi
dll, yang pada episode-episode awalmasih “bersih” dari “kemauan
pasar” namun pada akhirnya mulai belepotan, azas dan arah yang tidak
jelas, alur cerita yang menjadi ngawur, celakanya kehilangan nilai
edukasi bagi para remaja yang menontonnya, karena menampilkan
remaja dan anak-anak yang matang “karbit”, menampilkan budaya
serba instan dan hedonistik.

6. Penelitian Sinetron
Dalam tahun 2007, Yayasan Pengembangan Media Anak dan
18 Perguruan Tinggi di Indonesia melakukan penelitian mengenai
sinetron remaja yang ditayangkan dalam tahun 2006 dan 2007 meliputi
92 judul sinetron dengan 362 episode sepanjang 464 jam. Konsep yang
dieksplorasi adalah kekerasan, mistik, seks serta moralitas.
Kesimpulan peneliti tersebut, sinetron remaja tidak lepas dari
kekerasan meliputi kekerasan fisik, psikologis, finansial, seksual,
spiritual dll.

Kekerasan yang paling dominan adalah kekerasan bahasa
(verbalic-violence) mencapai 56%. Ekspresi kekerasan bahasa yang
dikemas dalam sinetron muncul dari kata-kata atau lisan dalam adegan
kekerasan . Yang secara implisit termasuk kekerasan bahasa perilaku
(gesture/paralinguistik) di wujudkan dengan suara yang meninggi,
suara bentakan karena marah/benci yang dilakonkan oleh pemeranpemeran
utama baik dilakukan oleh pemeran pria (kebanyakan) tetapi
juga pemeran wanita (suami-suami takut istri).

7. Langkah Terobosan
Apa yang harus dilakukan untuk menerobos jerat jejaring
sinetron yang membahayakan masa depan generasi muda kita ? Perlu
ada keterpaduan sikap dan jarak secara struktural dan fungsional, baik
oleh unsur-unsur eksekutif, legslatif dan judikatif maupun oleh unsurunsur
masyarakat.

Secara makromatif terwujudnya Undang-Undang Bahasa
diiringi dengan Peraturan-Peraturan Pemerintah sebagai aplikasinya,
termasuk tentang penggunaan bahasa modern media masa termasuk
program televisi cq sinetron.
Secara makromatif adanya langkah-langkah terpadu unsurunsur
pendidikan dan unsur-unsur penyiaran untuk mengawasi dan
menindak isi sinetron yang destruktif dari aspek kebahasaan. Peranan
PGRI, KPI, LSF, ATVSI, ATVLI untuk secara berkelanjutan
memonitor, mengevaluasi dan menyosialisasikan acuan sinetron yang
baik dan enar selaras dengan bahasa yang baik dan benar.
-oo0oo-

SINETRON-SINETRON KONDANG DILAYAR TELEVISI
(1998 – 2008)
A. JUDUL
1. Tersanjung
2. Intan
3. Candy
4. Soleha
5. Olivia
6. Cinta Fitri
7. Kugapai Cintamu
8. Bawang Putih Bawang Merah
9. Jangan Menangis Adinda
10. Dewi Fortuna
11. Dia
12. Cinta SMA
13. Munajat Cinta
14. Sahadat Cinta
15. Muslimah
16. Suci
17. Takdir Ilahi
18. Azab Ilahi
19. Hidayah
20. Bajaj Bajuri
21. Komedi Tengah Malam
22. Komedi Ayam Jago
23. Para Pencari Tuhan
B. TEMA
1. Konflik rumag tangga
2. Percintaan
3. Konflik remaja (seragam sekolah)
4. Dongeng/legenda
5. Mistik berjubah Agama/supranatural
6. Komedi

Catatan :
1. Menerima, latah terhadap sinetron yang sukses
2. Penguluran antara “the wants” dan “the needs”
3. Naik turun sesuai selera pasar
C. BAHASA
1. Bahasa gaul (sarat prokem, slang)
2. Dialek Betawi
3. Fenomena
a. Kata-kata vulgar, sarkastik
b. Bahasa Tubuh
c. Pemudaran etika
D. PRODUKSI
1. In House Productions
2. Productions House
E. BIAYA
± Rp. 300 juta – Rp. 400 juta/episode
F. PERINGKAT
80% – 90 % dominan program
G. BERKIBLAT KE RATING (AC NIELSEN) INSERT
IKLAN
1. Dikuasai Kapitalis
2. Kemauan pemilik modal
3. Bukan potret kehidupan (bukan realitas masyarakat)
5 W + 1 H
1. WOMAN
2. WILD
3. WHEALT
4. WINE
5. WORDS
6. HORROR

Djamalul Abidin Ass.
Pengamat Penyiaran/Anggota Lembaga Sensor Film

Makalah ini disampaikan pada Kongres Internasional IX Bahasa Indonesia di Jakarta, 28 oktober – 1 November 2008.

3 Tanggapan

  1. Ass WW. Pak Djamalul.
    Apa yang bapak angkat pada seminar itu kenyataan dan sebenarnya lebih parah lagi jika menyimak bahasa tutur rekan2 yang bergerak didunia penyiaran. Bahasa Indonesia telah kehilangan martabanya dan tidak lagi mejadi tuan rumah. Penyiar yang laku sekarang sekarang mereka yang cadel berbahasa Indonesia tetapi fasih berbahasa asing (khususnya bahasa Inggris). Bahasa instan yang dinilai komujnikatif campuran bahasa Inggris, dialek prokem dan bahasa Indonesia jadi selingan. Mis: “Sori ya pagi ini saya lagi BT soalnya bokap gue marah soal adik gue yang kelewagt jutek, so don’t worry I sent the nice music n I love you”.
    Sementara dalam tehnis penulisan di media cetakpun cara pemenggalan kata juga sudah tidak lagi mengikuti kaidah yang baik dan benar. Jadi yang perlu segera dilakukan penyelematan bahasa Indonesia adalah kepada para praktisi jurnalistik dan penyiaran melalui pendekatan workshop. Atau sebelum sinetron diproduksi diadakan dulu penyelelia naskah.

  2. ass,,,
    Lalu apa hubungan bahasa dengan bahasa nusantara ?????????

  3. maaf,saya hanya ingin bertanya “apa pendapat anda tentang sinetron yang selalu memakai dialek betawi?apakah menerima dialek itu merupakan toleransi?”
    mohon bantuannya

Tinggalkan komentar