Menuliskan Bahasa Lisan (Kasus Bahasa Rakyat Merdeka)

Mengawali diskusi kali ini, saya kutipkan sejumlah judul berita berikut ini:

(1) Amien Rais Takut Sama Megawati

(2) Anak Buah Soeharto Mau Dibunuh

(3) Orang PDIP Nolak Dicincai

(4) Wah, Enak Bener Jadi Presiden

(5) Terbukti Korupsi, Kok Dilepas?

(6) Ini Namanya Kabinet Kapal Keruki

(7) Soeharto, Bagi-bagi Tanahnya Dong

(8 ) Sudahlah Gus, Sampai Sini

(9) Rakyat Ogah Ditipu Dua Kali

(10) Tommy, Uenak Tenan…

(11) Di Atas Kertas Gus Dur Jatuh

(12) Akbar Mau Pimpin Golkar Dari Penjara

(13) Orang Mega Disuap Rp I Miliar

(14) Di Depan Yusril, Amrozy Cengengesan

(15) Panja Sukhoi, Siapa Takut?

(16) Bachtiar Chamsyah Disuruh Keluar Dari PPP

(17) Wanita Misterius Disuruh Ngebom Polda Metro dst…

Kemudian saya kutipkan pula, beberapa lead (pembuka) berita politik berikut ini:

“Memang lidah tak bertulang. Dulu waktu masih mengejar kedudukan, dengan ringan Megabilang, ‘Cut Nyak Mega tidak akan membiarkan setetes pun darah rakyat Aceh tumpah di bumiserambi Mekah.” (RM, 8 Mei 2003)

Di tempat persembunyian yang masih rahasia, untak pertama kalinya Saddam Hussern merekam pidato politiknya. Kata Saddam, ‘Hai rakyat Irak, usir kaum penjajah dari tanah air kita. Ayo kita tendang mereka.” (RM, 8 Mei 2003)

“Berapa jumlah dana yang dibutuhkan untuk menghabisi Gerakan Aceh Merdeka (CAM)? Tidak tanggung-tanggung: 1,23 triliun rupiah. Duit semua. Kebutuhan dana operasi keaman sebesar itu, diungkapkan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto dalam rapat Kerja TNI dengan Komisi I DPR, kemarin.” (RM, 13 Mei 2003)

“Menlu Australia Alexander Downer diminta jangan banyak bacot kalau punya bukti konkrit bahwa sejumlah tempat di Jakarta akan dibom teroris. Sebaiknya hal itu disampaikan Downer kepada pemerintah Indonesia.” (RM, 21 Oktober 2002)

“Pemerintah Indonesia akan keluar atau telmi bila menerima pengakuan itu begitu saja. Kewibawaan pemerintah di mata rakyat akan semakin merosot. Baru digertak Amerika nyalinya sudah dut. Demikian kata Ketua Dewan Penasihat Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi) Soeripto kepada Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin.” (RM, 21 Oktober  2002)

Apa komentar Anda setelah menyimak sejumlah kutipan judul dan lead berita di atas?

Bahasa yang kasar?

Bahasa provokatif?

Bahasa para preman?

Atau bahasa gaul?

Yang jelas, semua itu adalah ragam bahasa lisan, bukan bahasa tulisan. Tegasnya, itu adalah bahasa lisan yang ditulis sebagaimana yang diucapkan. Padahal kita tahu, ragam bahasa lisan berbeda dengan bahasa tulis. Bahasa lisan sangat terkait dengan pelafalan, sedangkan bahasa tulis terkait dengan pemakaian ejaan. Keduanya juga berbeda dalam segi tatabahasa (bentuk kata dan struktur kalimat) dan kosa kata/diksi. 

 RAGAM BAHASA LISAN DAN RAGAM BAHASA TULIS

(Dilihat dari Aspek Kebahasaan)

Ragam bahasa:

1. Ragam bahasa lisan: lafal, tata bahasa, kosakata, ejaan

2. Ragam bahasa tulis: lafal, tata bahasa, kosa kata, ejaan

PERBEDAAN RAGAM BAHASA LISAN DAN RAGAM BAHASA LISAN (Segi Tata Bahasa) 

Ragam bahasa tulis:

·        Akbar Tandjung mengatakan Golkar akan menang Pemilu 2004

·        Gus Dur mengatakan, kita harus membuat perjanjian politik

Sejumlah kutipan di atas adalah contoh judul dan lead berita di Harian Rakyat Merdeka. Secara konsisten surat kabar ini menggunakan style tersebut dalam penyajian beritanya. Setiap hari, tanpa henti (non stop!) judul maupun isi berita, disajikan seperti orang sedang berbicara. Ada kalanya juga disajikan seperti orang sedang bercerita. Bahkan tidak jarang disajikan seperti orang sedang bercakap-cakap, berdialog, mengeluh, marah-marah, memprotes, dan sering pula mencaci maki. Itulah bahasa lisan/ucapan yang dituliskan, Itulah style bahasa jurnalistik Rakyat Merdeka.

Kami sering menyebutnya sebagai “bahasa rakyat” atau bahasa yang dipakai oleh orang banyak. Terasa lebih familiar dan akrab, karena seringkali muncul kata-kata yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari. Misalnya telmi alias telat mikir, dihabisi, dikerjai, dicuekin, dilibas, omdo alias omong doang, dll.

Apakah secara linguistik style bahasa seperti itu salah? Jangan-jangan ini bisa dianggap sebagai temuan baru dalam ilmu bahasa? Maksud saya, ragam bahasa lisan bisa pula menjadi ragam bahasa tulis tanpa harus mengubah struktur kalimat maupun bentuk dan pilihan kata. Toh makna dan informasinya tidak berubah.

Apakah secara jurnalistik penyajian berita dengan ragam bahasa seperti itu-salah? Bandingkan misalnya dengan bahasa Indonesia yang dipakai para reporter radio dan televisi. Para reporter yang melakukan siaran langsung biasa menggunakan ragam bahasa Indonesia lisan, bukan tulisan — kecuali presenter atau pembaca berita, biasanya melisankan bahasa tulisan. Dalam kaitan ini, hendaknya dibedakan pemakaian bahasa Indonesia sebagai telaah keilmuan dan alat komunikasi sebagaimana dilakukan para wartawan.

Bahasa Rakyat Merdeka, bisa saja dianggap sebagai sebuah formula baru dan bisa dijadikan contoh bahasa Indonesia jurnalistik pasca-Orde Baru. Bisa pula dijadikan model bahasa Indonesia jurnalistik tanpa harus mengabaikan sifat-sifatnya yang lugas, singkat, padat, menarik, dan lancar.

Benarkah demikian? Lebih baik mari kita diskusikan!

Penulis:

Zaenuddin HM

Anggota DKR Rakyat Merdeka

8 Juli 2003, Gedung Pers Graha Pena, Jakarta

Makalah disajikan dalam Diskusi Forum Bahasa Media Massa 9 Juli 2003 di Rakyat Merdeka.

 

BAHAN BACAAN

A.Teeuw, Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1994

Atmakusumah (Penyunting), 10 Pelajaran Untuk Wartawan, Jakarta: LSPP, 2000.

Dendy Sugono, Berbahasa Indonesia Dengan Benar, Jakarta; PT Priastu, 1989.

James H Morrison dkk, Sejarah Lisan di Asia Tenggara, Jakarta: LF3ES, 2000.

Roger Fidler, Mediamorfosis, Yogyakarta; Bentang Budaya, 2003

Rosihan Anwar, Bahasa ]urnaiisiik Indonesia dan Komposisi, Jakarta: Deppen, 1979.

S. Effendi, Panduan Berbahasa Indonesia dengan Baik dan Benar, Jakarta: Pustaka Jaya, Cetakan ketiga, 1998.

Harian Rakyat Merdeka edisi 21 Oktober 2002, 8 dan 13 Mei 2003.

2 Tanggapan

  1. Pada percakapan sehari-hari agar pemikiran kita tersampaikan secara utuh, apakah lebih baik kita tetap menggunakan bahasa tulisan daripada menggunakan bahasa lisan? jika ya, berarti kita pun harus mengajari anak kita bertutur kata dg aturan SPOK, mohon pencerahan. Terimakasih

  2. Menurut saya, berbahasa Indonesia yang baik dan benar itu bukan semata-mata menerapkan aturan SPOK atau standar EYD. Berbahasa itu harus baik dan benar. Baik dalam artian kita menggunakan ragam bahasa yang sesuai dengan waktu, tempat, dan lawan bicara kita. Ketika berbicara dengan seorang profesor di dalam ruang kuliah, tentu berbeda ketika kita berbicara dengan anak-anak. Benar, dalam artian sesuai kaidah bahasa. Bukan saat berbahasa Indonesia saja kita harus berbahasa yang baik dan benar tetapi juga saat menggunakan bahasa lain. Jika bahasa ragam tulis memberi jarak antara orangtua dan anak, mengapa tak menggunakan ragam bahasa lisan yang baik dan benar?

Tinggalkan komentar